Template by:
Free Blog Templates

Welcome To IT WORLD XI IPS 1

Selasa, 25 Mei 2010

Pentingnya Blog Bagi Pendidikan

Mengapa sayap mobil balap F1 dipasang terbalik? Karena fungsi sayap jet darat itu bukan untuk mengangkat seperti sayap pada pesawat terbang, melainkan justru menekan mobil melekat ke lintasan. Sayap yang terbalik juga akan memberikan tenaga tarikan yang lebih baik dan laju mobil lebih stabil.

Informasi itu tak saya dapatkan dari situs web resmi F1. Bukan pula dari situs web para pecandu mobil balap. Saya justru memperoleh pengetahuan tentang sayap terbalik mobil F1 itu dari blog Fisikane milik Iksan Taufik Hidayanto, pengajar dan Kepala Laboratorium Fisika MAN 1 Purwokerto, Jawa Tengah.

Iksan tentu bukan satu-satunya guru yang memiliki blog. Saya tak tahu jumlah pastinya, tapi bila saya ketik kata “blog guru” di Google, akan keluar beberapa pengumpul blog guru, seperti Blog Guru, Guru Indonesia, Indonesia Teacher Community, dan Aksi Guru. Mereka adalah Ki Hajar Dewantara di era web 2.0. Orang-orang yang mendidik para siswa melalui blog. Teladan untuk pengingat Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2Mei.

Mengapa banyak guru membuat blog? Sawali Tuhusetya, guru, menulis di jurnal pribadinya bahwa blog adalah salah satu media meningkatkan kualitas diri seorang pendidik. Seorang guru adalah agen pembelajar yang harus memiliki empat jenis kompetensi: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Melalui blog, Sawali menulis, guru akan terangsang meningkatkan kualitas diri dengan membuat aneka jenis tulisan yang bermanfaat bagi kepentingan dunia pembelajaran di sekolah. Dengan cara demikian, secara tidak langsung, blog bisa menjadi sebuah media penyaluran yang mencerahkan dunia pembelajaran di sekolah. Kekuatan “tautan” antarweb dan blog dalam dunia Internet menyediakan bunga rampai pengetahuan yang (nyaris) tak terbatas bagi seorang guru.


Lewat blog, menurut Sawali, guru juga akan mudah melakukan ekspresi diri. Temuan-temuan praktis dari dunia pembelajaran bisa diangkat dan menjadi sebuah wacana yang menarik dalam sebuah blog sehingga bisa memancing siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan untuk berkomentar atau berdiskusi. Bukankah ini sebuah “kekuatan” yang hampir tidak dimiliki oleh media mana pun?

Jangan lupa, guru adalah profesi yang dituntut untuk selalu berbagi. Mereka berbagi pelajaran, ilmu, gagasan, dan sebagainya kepada anak didik–setiap hari. Ibarat sumur, seorang guru tak akan pernah kekeringan bahan untuk dibagikan.
Akan lebih baik bila pelajaran dari seorang guru tidak hanya diterima oleh murid-muridnya di kelas, tapi juga anak-anak lain di mana pun mereka berada. Semakin banyak anak, semakin baik. Kalau bisa, bahkan bukan hanya murid yang memperoleh pelajaran itu, tapi juga semua orang.

Cara menyebarluaskan ilmu adalah melalui blog dan media sosial lainnya, seperti Facebook dan Twitter. Blog adalah jaringan terbuka yang bisa diakses di mana saja. Hanya dibutuhkan seperangkat komputer dan akses ke Internet. Lewat blog, pembaca sebuah tulisan tak terbatas. Blog membuat ruangan kelas bagaikan tanpa sekat.

Blog adalah media yang membebaskan. Di blog, seorang guru matematika, misalnya, boleh saja menulis tentang masalah etiket. Guru bahasa pun dipersilakan membahas masalah di luar bidang ajarnya, contohnya filsafat olahraga. Seorang guru fisika bahkan tak dilarang berbagi teknik fotografi yang menjadi hobinya di luar sekolah. Pendeknya, blog bisa membuat guru menjadi dan berbagi apa saja.

Blog justru akan memancing guru berkreasi semaksimal mungkin. Dengan teknologi yang melekat padanya, blog memungkinkan guru menambahkan gambar, suara, atau video sebagai pelengkap bahan ajar. Materi pelajaran niscaya akan semakin menarik dan memicu kreativitas anak didik.
Read More

Selasa, 27 April 2010

Perayaan Hari Kartini

eKe Salon demi Perayaan Hari Kartini


Siapa yang tidak kenal R.A Kartini,Lahir di Jepara pada 21 April 1879, Kartini berhadapan pada budaya yang tidak memberikan kesempatan memperoleh pendidikan dan perlakuan setara dengan laki-laki. Cita-cita Kartini untuk meraih pendidikan Sekolah Guru di negeri Belanda melalui beasiswa yang telah diperolehnya, kandas oleh larangan orangtua yang malahan menikahkan Kartini dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat.

Puluhan anak usia empat tahun sampai enam tahun yang berbaris berdesakan di halaman sekolah itu seolah tak begitu memerhatikan seruan Rosnita. Mereka lebih asyik bermain dengan teman. Sebagian lain mengeluh kepada ibunya karena kepanasan akibat pakaian adat yang mereka kenakan terbilang tebal.
Keringat bercucuran di dahi dan pipi para siswi yang berlapis bedak dan tersapu blush on itu. Eyeliner, eye shadow, concealer, dan gincu mereka mulai pudar. Beberapa siswa bahkan mencopot topi karena tidak kuat menahan panas.
Meski begitu, para siswa dan siswi yang memakai pakaian berbagai adat itu tetap enak dipandang. Ada yang berkebaya mirip orang Jawa, ada yang dandan mirip orang Padang, dan ada pula yang bergaya mirip orang Papua. Mereka berpakaian adat secara berpasang-pasangan mirip saat menjelang karnaval perayaan 17 Agustus.
”Tahu enggak hari ini hari apa?” teriak Rosnita. ”Hari Ibu Kita Kartini!” jawab para siswa TKIT Hikmatul Fadhillah serentak.
Sesaat kemudian, enam anak naik panggung. Mereka menyanyikan lagu ”Ibu Kita Kartini” diselingi puisi dengan judul yang sama. Mereka begitu ceria menyanyikan lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman itu. Disusul dengan penampilan kelompok per kelompok berdasarkan pakaian adat yang mereka pakai.
”Senyum sedikit. Jangan terlalu mundur. Maju-maju,” seru seorang ibu kepada anaknya yang tampak malu berada di atas panggung. Tak peduli, ibu itu malah mengambil kamera saku dan mengabadikan gambar anaknya lengkap dengan pakaian adat Jawa itu.
Orangtua lainnya juga sibuk memotret saat anaknya tampil ke panggung. Bagi mereka, ini merupakan peristiwa langka sehingga harus diabadikan. Apalagi, penampilan anak-anak itu begitu berbeda dibandingkan dengan hari-hari biasa.
Demi bisa tampil sempurna, orangtua mereka rela merogoh uang untuk menyewa baju dan mendandani anaknya ke salon kecantikan. ”Setengah jam saya nunggu anak saya ini di salon. Biaya dandan dan sewa bajunya Rp 80.000,” kata Dini Ardi (28) yang saat itu menemani anaknya, Nazla Ramadhani (4).
Berkali-kali Dini Ardi harus mengusap keringat di pipi anaknya yang kepanasan saat memakai gaun Padang itu. Meskipun sedang memperingati Hari Kartini, Dini tidak merasa harus mendandani anaknya dengan kebaya. Baginya, yang penting menularkan semangat Kartini tentang rasa cinta Tanah Air dan penghargaan terhadap perempuan.
Berbeda dengan Tiah (30). Baginya, yang penting anaknya, Tiara (5), bisa bersenang dan berbahagia bersama teman-temannya. Untuk itu, dia rela membawa anaknya ke salon untuk berdandan dan tampil sempurna. Soal nilai nasionalisme atau cinta Tanah Air bisa diajarkan di sela-sela acara. (M Hilmi Faiq)
Read More